Selasa, 19 Desember 2023

SEJARAH SINGKAT PEPANTHAN KEDUNGJATI

 SEJARAH SINGKAT PEPANTHAN KEDUNGJATI

 Sekitar tahun 1965 Keluarga Bp.Yosem Petrus, seorang warga GKJ Kaliceret,pindah dan tinggal di Kedungjati. Beliau adalah seorang pegawai Rumah Sakit Kristen Kaliceret. Karena mengalami kemunduran maka seluruh pegawai rumah sakit dipindah tugaskan oleh pemerintah ke Tanggungharjo, Gubug, Purwodadi dan Kedungjati. Bp.Yosem Petrus ditugaskan ke Puskesmas Kedungjati. Beliau adalah adik Bapak Yosafat Kaliceret.

Di Kedungjati Keluarga Bp.Yosem Petrus tinggal mengkontrak di sebuah rumah di belakang gereja Katolik Kristus Raja sekarang ini.




Setelah pindah ke Kedungjati kegiatan ibadah Keluarga Yosem Petrus tidak dilakukan ke Kaliceret, tetapi meminjam sebuah rumah dinas kesehatan milik Perhutani yang ditempati ibu Sarah di Kalikan, Kedungjati. Waktu itu yang hadir dalam ibadah adalah keluarga Bp.Yosem Petrus dan keluarga Ibu Isriati, istri Bp.Harno sekarang ini, sekarang warga pepanthan Kedungjati. Ibu Istriati adalah seorang guru SD di Kedungjati.

Karena pada tahun itu (1965) Ibu Sarah meninggal, maka tempat ibadah dipindahkan dari Kalikan ke rumah kontrakan Bp.Yosem Petrus di belakang gereja Katolik sekarang. Pada waktu kegiatan ibadah telah dilaksanakan di tempat ini, terjadilah babtisan Pertama yang dilayani oleh Pdt.Koerdi Poedjowijono. Yang dilayani babtis waktu itu adalah:

1. Ibu Sunarti

2. Ibu Sukamti

3. Bp.Imam Suharjo (Ka TU SMP Negeri Gubug)

4. Bp.Suwardi, mantri kewan dari Wonogiri.

Pada masa terjadi babtisan Pertama, waktu itu juga telah dikembangkan pelayanan dengan mengadakan ibadah di rumah Bp.Atmo Diharjo, seorang mandor Perhutani Kristen dari Blora yang ditempatkan di Gunung Wulan.

Dengan adanya babtisan pertama ini keadaan pelayanan jemaat semakin berkembang. Perilaku kekristenan menjadi perhatian yang menarik bagi masyarakat sekitarnya. Ketertarikan untuk mengikuti ajaran Kristus ini menghasilkan orang-orang yang memberi diri mereka dibabtis pada babtisan ke dua.

Pada tanggal 2 Juni 1968 dilaksanakan babtisan kedua dilayani oleh Pdt.Koerdi Poedjowijono. Mereka yang dibabtis adalah:

1. Bp.Stefanus Djarot Wagijo

2. Bp.Antonius Sumarsono

3. Bp.Kusnin

4. Bp.Bejo Santosa Ismail.

Semasa babtisan kedua ini dilaksanakan, GKJ Kaliceret telah mengangkat guru Injil Bp.Soenardi Budi untuk membantu pelayan Pdt.Koerdi Poedjowijono. Katekisasi untuk Babtis dilayani oleh Bp.Pdt.Poedjowijono. Sementara Bp.Pdt  melayani katekisasi, Bp Srijono sering melibatkan diri melatih koor bagi warga jemaat/pemuda kedungjati. Karena kegigihan ini, Koor dari Pepanthan kedungjati menjadi sangat terkenal waktu itu. Sehingga untuk perayanaan natal setingkat Klasis, pernah kegiatan natal di GKJ Juwangi belum mulai sebelum kedatangan Rombongan Koor Pemuda Kedungjati datang dari Kedungjati dengan kereta.

Selain melaksanakan ibadah di Kedungjati, waktu itu juga dibuka pos pelayanan ibadah di Gunung Wulan bertempat di rumah Bp.Atmo Diharjo, seorang mantri hutan dari Blora. Waktu itu sempat berkembang menjadi sekitar lima keluarga dan ibadah dilayani dari Induk Kaliceret. Pengkotbah waktu itu adalah Bp.Budi Utomo, Bp.Purwoto, Bp. Abil Marto Armojo, termasuk Bp.Srijono dan Guru Sekolah Minggu yang membuka kelas sekolah Minggu di Gunung Wulan.

Kegiatan jemaat pepanthan kedungjati semakin berkembang dengan baik. Apalagi secara politik situasi setelah tahun 1965, ada kewajiban setiap warga negara untuk memeluk agama supaya tidak dicap atheis, maka pintu bagi gereja juga terbuka lebar. Hal ini kemudian mendorong Kompalok (Komisi Pemuda Lokal), waktu itu diketuai oleh Bp.Srijono, untuk membentuk Kominglok (Komisi Sekolah Minggu Lokal) di Pepanthan Kedungjati. Susunan Pengurus Kominglok Pepanthan Kedungjati adalah:

Pembina                                                                                       : Bp.Srijono

Ketua                                                                                           : Ibu Sukamti

Ketua Dewan Guru Sekolah Minggu      : Bp.Stefanus Djarot Wagijo

Guru Sekolah Minggu                                          : Bp.Srijono

 Bp.Stefanus Djarot Wagijo

 Bp.Antoius Sumarsono                                               

 Ibu Rumiyati

 Bp.Margo

 

Kelas Sekolah Minggu yang dibuka waktu itu ada di beberapa tempat, yaitu :

1. Rumah Ibu Estriati, sebagai tempat ibadah rutin, di Kauman. Murid = 38 anak

2. Rumah Bp.Sumono, Krakalan. Murid = 38 anak

3. Rumah Bp.Singo Rustam, Gumuk Rejo. Murid = 18 anak

4. Rumah Bp.Atmo Diharjo, Pos Pelayanan Gunung Wulan. Murid = 12 anak

5. Rumah Bp.Mangku, Klitikan. Murid = 8 anak.          

 

Sebagian besar kegiatan Sekolah Minggu dilaksanakan bukan di rumah warga jemaat. Mereka merelakan rumahnya dipakai sebagai kegiatan sekolah Minggu. Waktu itu yang datang antusias termasuk orang tuanya dengan menunggui dan menyaksikan kegiatan Sekolah Minggu.

Sekitar tahun 1966-1967, tempat kegiatan ibadah  pepanthan Kedungjati dipindahkan dari rumah kontrakan Bp.Yosem ke rumah Ibu Subiyoto Estriati, suami Bp.Harno, lokasi disamping Mbah Suwardi, mantan Kepala Desa Kedungjati sekarang ini.

Setelah pindah ke rumah Ibu Estriati, GKJ Kaliceret mendapat bantuan dana dari Pdt.Tabri sejumlah Rp.100.000. Dari bantuan tersebut dibelikan sebidang tanah dilokasi gereja yang sekarang seluas kurang lebih ... . Tanah dibeli dari .... Perintis pembelian tanah untuk gedung gereja adalah Bp.Paji (sekarang koster). Maka disusunlah Panitia Pembangunan gereja:

Ketua                   : Bp.Yusno (mantri Polisi, pindahan dari warga Grobogan)

Sekretaris   : Bp.Suwardi (mantan Lurah Kedungjati, waktu itu mantri hewan)

Bendahara            : Bp.Mardi (Kepala Zinder DK, warga gereja pindahan dari Solo).

 

Panitia Pembangunan kemudian membeli sebuah rumah milik Bp.Ignatius Sumardi, seorang warga gereja Katolik Kedungjati. Semasa GKJ Pepanthan Kedungjati merintis pembangunan gereja, Gereja Katolik Kedungjati sudah berkembang dan memiliki banyak jemaat. Pada waktu Gereja Katolik merayakan Ulang tahun yang pertama, waktu itu diadakan pertunjukan drama. Tapi ternyata drama ini memakan korban meninggal dunia. Beberapa warga jemaat GKJ Pepanthan Kedungjati yang diundang dan ikut menyaksikan waktu itu adalah Bp.Stefanus Djarot Wagijo dan Bp.Antonius Sumarsono. Ketika adegan penodongan pistol oleh para peran dalam drama tersebut, pistol yang dipakai ternyata pistol sungguhan. Tanpa dicek sebelumnya ketika pistol diledakkan pistolpun meletus dan benar-benar melukai. Semula belum ada kepanikan. Tetapi begitu sadar darah yang mengalir sungguhan, mulailah kepanikan terjadi. Drama dihentikan, acara dibubarkan. Segera korban dilarikan ke rumah sakit, tetapi nyawanya tak tertolong lagi. Sang aktorpun sungguh-sungguh tewas. Pada saat peristiwa ini Panitia pembangunan GKJ sedang mempersiapkan mendirikan gereja untuk esok paginya.

Setelah berdiri maka ibadah dilaksanakan seperti biasanya. Majelis yang kerap melayani ibadah tiap minggunya adalah Bp.Yosem Petrus. Tenaga lain adalah Bp.Srijono sebagai tenaga katekisasi dan pelatih Koor. Sementara Bp.Poedjowijono melayani ibadah Bp.Srijono melayani katekisasi. Beberapa warga yang mengikuti katekisasi adalah Ibu Rumiyati, Ibu Sri Penyerahaningsih (anak seorang tentara, namanya diambil saat PRRI dimana terjadi penyerahan kekuasaan kepada tentara Indonesia).

Nasib pos pelayanan Pepanthan Kedungjati di Gunung Wulan mengalami kemunduran. Sekitar tahun 1978 banyak warga jemaat di Gunung Wulan yang pergi bertransmigrasi. Sementara yang tersisa mengalami kemunduran karena kecewa dengan perilaku moral seorang tokoh kunci yang berpoligami. Akhirnya sekitar tahun 1980 pepanthan Gunung Wulan tidak memiliki jemaat lagi sepeninggal Bp.Atmo Diharjo. Istri dan anak-anaknya juga mengalami kemunduran iman.

Ada kisah menarik mengenai ketertarikan warga pepanthan kedungjati menjadi Kristen. Beberapa di antaranya adalah dari Bp.Stefanus Djarot Wagijo dan Bp.Antonius Sumarsono. Sejak kecil mereka berteman karib dan tinggal satu kampung di Kalijorong. Bp.Stefanus Djarot Wagijo membandingkan kehidupan dalam ajaran kristen lebih membuat orang menjadi damai karena di sana tidak ada perceraian/wayuh. Apalagi beliau sendiri memiliki pengalaman nyata dalam hidup orang tuanya. Latar belakang lain, Bp.Bp.Stefanus Djarot Wagijo sewaktu SD memliki bayangan akan lebih enak sewaktu pelajaran agama disuruh gurunya keluar kelas karena beragama Kristen.

Demikian juga pengalaman Bp.Antonius Sumarsono ketika kecil. Berpijak dari pelajaran IPS tentang agama-agama, beliau memiliki kesimpulan bahwa menurut ajaran Kristen seseorang akan mencapai kebahagiaan dan kedamaian. Apalagi dalam ajaran Kristen tidak diperbolehkan bercerai. Inilah juga yang menjadi harapan beliau ketika berumah tangga nanti. Maka sejak itu dia memiliki cita-cita untuk menjadi Kristen. Walaupun banyak bujukan untuk tidak menjadi kristen waktu itu datang dari tetangga kanan kiri, misalnya dengan menakut-nakuti kalau  menjadi kristen itu sewaktu mati akan disalib, hal tersebut tidak menyurutkan niat beliau untuk menjadi Kristen. Demikian juga saat bulan puasa, beliau memilih tidak berpuasa karena bercita-cita menjadi Kristen.

Ketertarikan kedua beliau ini semakin diperkuat setelah mereka sekolah di SMP Kristen Ambarawa. Setelah itu Bp.Djarot Wagijo mewujudkan ketertarikannya akan kekristenan dengan mengikuti ibadah. Namun ibadah minggu pertama itu dilaksanakan di tempat yang bukan menjadi tempat tujuannya. Beliau salah masuk ke gereja Katolik. Harapan beliau adalah  masuk GKJ melalui perkenalannya selama ini dengan Bp.Srijono di kegiatan Pramuka. Minggu berikutnya Bp.Djarot Wagijo mengikuti ibadah di GKJ. Kamisnya mengikuti katekisasi. Minggunya diserahi tugas oleh Bp.Srijono untuk mengajar sekolah Minggu. Tak lama kemudian Bp.Sumarsono masuk mengikuti ibadah dan menjadi Kristen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar