SEJARAH SINGKAT PEPANTHAN KEDUNGJATI
Di Kedungjati Keluarga Bp.Yosem Petrus
tinggal mengkontrak di sebuah rumah di belakang gereja Katolik Kristus Raja
sekarang ini.
Setelah pindah ke Kedungjati kegiatan
ibadah Keluarga Yosem Petrus tidak dilakukan ke Kaliceret, tetapi meminjam
sebuah rumah dinas kesehatan milik Perhutani yang ditempati ibu Sarah di Kalikan,
Kedungjati. Waktu itu yang hadir dalam ibadah adalah keluarga Bp.Yosem Petrus
dan keluarga Ibu Isriati, istri Bp.Harno sekarang ini, sekarang warga pepanthan
Kedungjati. Ibu Istriati adalah seorang guru SD di Kedungjati.
Karena pada tahun itu (1965) Ibu Sarah
meninggal, maka tempat ibadah dipindahkan dari Kalikan ke rumah kontrakan
Bp.Yosem Petrus di belakang gereja Katolik sekarang. Pada waktu kegiatan ibadah
telah dilaksanakan di tempat ini, terjadilah babtisan Pertama yang dilayani
oleh Pdt.Koerdi Poedjowijono. Yang dilayani babtis waktu itu adalah:
1. Ibu Sunarti
2. Ibu Sukamti
3. Bp.Imam
Suharjo (Ka TU SMP Negeri Gubug)
4. Bp.Suwardi,
mantri kewan dari Wonogiri.
Pada masa terjadi babtisan Pertama, waktu
itu juga telah dikembangkan pelayanan dengan mengadakan ibadah di rumah Bp.Atmo
Diharjo, seorang mandor Perhutani Kristen dari Blora yang ditempatkan di Gunung
Wulan.
Dengan adanya babtisan pertama ini keadaan
pelayanan jemaat semakin berkembang. Perilaku kekristenan menjadi perhatian
yang menarik bagi masyarakat sekitarnya. Ketertarikan untuk mengikuti ajaran
Kristus ini menghasilkan orang-orang yang memberi diri mereka dibabtis pada
babtisan ke dua.
Pada tanggal 2
Juni 1968 dilaksanakan babtisan kedua dilayani oleh Pdt.Koerdi Poedjowijono.
Mereka yang dibabtis adalah:
1. Bp.Stefanus
Djarot Wagijo
2. Bp.Antonius
Sumarsono
3. Bp.Kusnin
4. Bp.Bejo
Santosa Ismail.
Semasa babtisan kedua ini dilaksanakan,
GKJ Kaliceret telah mengangkat guru Injil Bp.Soenardi Budi untuk membantu
pelayan Pdt.Koerdi Poedjowijono. Katekisasi untuk Babtis dilayani oleh
Bp.Pdt.Poedjowijono. Sementara Bp.Pdt
melayani katekisasi, Bp Srijono sering melibatkan diri melatih koor bagi
warga jemaat/pemuda kedungjati. Karena kegigihan ini, Koor dari Pepanthan
kedungjati menjadi sangat terkenal waktu itu. Sehingga untuk perayanaan natal
setingkat Klasis, pernah kegiatan natal di GKJ Juwangi belum mulai sebelum
kedatangan Rombongan Koor Pemuda Kedungjati datang dari Kedungjati dengan
kereta.
Selain melaksanakan ibadah di Kedungjati,
waktu itu juga dibuka pos pelayanan ibadah di Gunung Wulan bertempat di rumah
Bp.Atmo Diharjo, seorang mantri hutan dari Blora. Waktu itu sempat berkembang
menjadi sekitar lima keluarga dan ibadah dilayani dari Induk Kaliceret.
Pengkotbah waktu itu adalah Bp.Budi Utomo, Bp.Purwoto, Bp. Abil Marto Armojo,
termasuk Bp.Srijono dan Guru Sekolah Minggu yang membuka kelas sekolah Minggu
di Gunung Wulan.
Kegiatan jemaat
pepanthan kedungjati semakin berkembang dengan baik. Apalagi secara politik
situasi setelah tahun 1965, ada kewajiban setiap warga negara untuk memeluk
agama supaya tidak dicap atheis, maka pintu bagi gereja juga terbuka lebar. Hal
ini kemudian mendorong Kompalok (Komisi Pemuda Lokal), waktu itu diketuai oleh
Bp.Srijono, untuk membentuk Kominglok (Komisi Sekolah Minggu Lokal) di
Pepanthan Kedungjati. Susunan Pengurus Kominglok Pepanthan Kedungjati adalah:
Pembina :
Bp.Srijono
Ketua :
Ibu Sukamti
Ketua Dewan Guru
Sekolah Minggu : Bp.Stefanus Djarot
Wagijo
Guru Sekolah
Minggu : Bp.Srijono
Bp.Stefanus Djarot Wagijo
Bp.Antoius Sumarsono
Ibu Rumiyati
Bp.Margo
Kelas Sekolah
Minggu yang dibuka waktu itu ada di beberapa tempat, yaitu :
1. Rumah Ibu
Estriati, sebagai tempat ibadah rutin, di Kauman. Murid = 38 anak
2. Rumah
Bp.Sumono, Krakalan. Murid = 38 anak
3. Rumah Bp.Singo
Rustam, Gumuk Rejo. Murid = 18 anak
4. Rumah Bp.Atmo Diharjo, Pos Pelayanan Gunung Wulan. Murid = 12 anak
5. Rumah Bp.Mangku, Klitikan. Murid = 8 anak.
Sebagian besar kegiatan Sekolah Minggu
dilaksanakan bukan di rumah warga jemaat. Mereka merelakan rumahnya dipakai
sebagai kegiatan sekolah Minggu. Waktu itu yang datang antusias termasuk orang
tuanya dengan menunggui dan menyaksikan kegiatan Sekolah Minggu.
Sekitar tahun 1966-1967, tempat kegiatan
ibadah pepanthan Kedungjati dipindahkan
dari rumah kontrakan Bp.Yosem ke rumah Ibu Subiyoto Estriati, suami Bp.Harno,
lokasi disamping Mbah Suwardi, mantan Kepala Desa Kedungjati sekarang ini.
Setelah pindah ke rumah Ibu Estriati, GKJ
Kaliceret mendapat bantuan dana dari Pdt.Tabri sejumlah Rp.100.000. Dari bantuan
tersebut dibelikan sebidang tanah dilokasi gereja yang sekarang seluas kurang
lebih ... . Tanah dibeli dari .... Perintis pembelian tanah untuk gedung gereja
adalah Bp.Paji (sekarang koster). Maka disusunlah Panitia Pembangunan gereja:
Ketua :
Bp.Yusno (mantri Polisi, pindahan dari warga Grobogan)
Sekretaris : Bp.Suwardi
(mantan Lurah Kedungjati, waktu itu
mantri hewan)
Bendahara : Bp.Mardi (Kepala Zinder DK, warga
gereja pindahan dari Solo).
Panitia Pembangunan kemudian membeli
sebuah rumah milik Bp.Ignatius Sumardi, seorang warga gereja Katolik
Kedungjati. Semasa GKJ Pepanthan Kedungjati merintis pembangunan gereja, Gereja
Katolik Kedungjati sudah berkembang dan memiliki banyak jemaat. Pada waktu
Gereja Katolik merayakan Ulang tahun yang pertama, waktu itu diadakan
pertunjukan drama. Tapi ternyata drama ini memakan korban meninggal dunia.
Beberapa warga jemaat GKJ Pepanthan Kedungjati yang diundang dan ikut
menyaksikan waktu itu adalah Bp.Stefanus Djarot Wagijo dan Bp.Antonius
Sumarsono. Ketika adegan penodongan pistol oleh para peran dalam drama
tersebut, pistol yang dipakai ternyata pistol sungguhan. Tanpa dicek sebelumnya
ketika pistol diledakkan pistolpun meletus dan benar-benar melukai. Semula
belum ada kepanikan. Tetapi begitu sadar darah yang mengalir sungguhan,
mulailah kepanikan terjadi. Drama dihentikan, acara dibubarkan. Segera korban
dilarikan ke rumah sakit, tetapi nyawanya tak tertolong lagi. Sang aktorpun
sungguh-sungguh tewas. Pada saat peristiwa ini Panitia pembangunan GKJ sedang mempersiapkan
mendirikan gereja untuk esok paginya.
Setelah berdiri maka ibadah dilaksanakan
seperti biasanya. Majelis yang kerap melayani ibadah tiap minggunya adalah
Bp.Yosem Petrus. Tenaga lain adalah Bp.Srijono sebagai tenaga katekisasi dan
pelatih Koor. Sementara Bp.Poedjowijono melayani ibadah Bp.Srijono melayani
katekisasi. Beberapa warga yang mengikuti katekisasi adalah Ibu Rumiyati, Ibu
Sri Penyerahaningsih (anak seorang tentara, namanya diambil saat PRRI dimana
terjadi penyerahan kekuasaan kepada tentara Indonesia).
Nasib pos pelayanan Pepanthan Kedungjati
di Gunung Wulan mengalami kemunduran. Sekitar tahun 1978 banyak warga jemaat di
Gunung Wulan yang pergi bertransmigrasi. Sementara yang tersisa mengalami
kemunduran karena kecewa dengan perilaku moral seorang tokoh kunci yang
berpoligami. Akhirnya sekitar tahun 1980 pepanthan Gunung Wulan tidak memiliki
jemaat lagi sepeninggal Bp.Atmo Diharjo. Istri dan anak-anaknya juga mengalami
kemunduran iman.
Ada kisah menarik mengenai ketertarikan
warga pepanthan kedungjati menjadi Kristen. Beberapa di antaranya adalah dari
Bp.Stefanus Djarot Wagijo dan Bp.Antonius Sumarsono. Sejak kecil mereka
berteman karib dan tinggal satu kampung di Kalijorong. Bp.Stefanus Djarot
Wagijo membandingkan kehidupan dalam ajaran kristen lebih membuat orang menjadi
damai karena di sana tidak ada perceraian/wayuh. Apalagi beliau sendiri
memiliki pengalaman nyata dalam hidup orang tuanya. Latar belakang lain,
Bp.Bp.Stefanus Djarot Wagijo sewaktu SD memliki bayangan akan lebih enak sewaktu
pelajaran agama disuruh gurunya keluar kelas karena beragama Kristen.
Demikian juga pengalaman Bp.Antonius
Sumarsono ketika kecil. Berpijak dari pelajaran IPS tentang agama-agama, beliau
memiliki kesimpulan bahwa menurut ajaran Kristen seseorang akan mencapai
kebahagiaan dan kedamaian. Apalagi dalam ajaran Kristen tidak diperbolehkan
bercerai. Inilah juga yang menjadi harapan beliau ketika berumah tangga nanti.
Maka sejak itu dia memiliki cita-cita untuk menjadi Kristen. Walaupun banyak
bujukan untuk tidak menjadi kristen waktu itu datang dari tetangga kanan kiri,
misalnya dengan menakut-nakuti kalau
menjadi kristen itu sewaktu mati akan disalib, hal tersebut tidak
menyurutkan niat beliau untuk menjadi Kristen. Demikian juga saat bulan puasa,
beliau memilih tidak berpuasa karena bercita-cita menjadi Kristen.
Ketertarikan kedua beliau ini semakin
diperkuat setelah mereka sekolah di SMP Kristen Ambarawa. Setelah itu Bp.Djarot
Wagijo mewujudkan ketertarikannya akan kekristenan dengan mengikuti ibadah. Namun
ibadah minggu pertama itu dilaksanakan di tempat yang bukan menjadi tempat
tujuannya. Beliau salah masuk ke gereja Katolik. Harapan beliau adalah masuk GKJ melalui perkenalannya selama ini
dengan Bp.Srijono di kegiatan Pramuka. Minggu berikutnya Bp.Djarot Wagijo
mengikuti ibadah di GKJ. Kamisnya mengikuti katekisasi. Minggunya diserahi
tugas oleh Bp.Srijono untuk mengajar sekolah Minggu. Tak lama kemudian
Bp.Sumarsono masuk mengikuti ibadah dan menjadi Kristen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar