SEJARAH PEPANTHAN RINGINPITU
Pada sekitar tahun 1973 seorang tentara
dari Salatiga dipindah tugaskan di Grobogan dan ditempatkan di Tanggungharjo.
Orang tersebut bernama Bapak Warnadi, seorang warga gereja Kristen Jawa
Salatiga. Istrinya bernama Ibu Munasri, yang lebih suka dipanggil ibu Warnadi.
Dalam kepindahannnya beliau belum membawa istri dan anaknya, dikarenakan masih
menunggu anak-anak mereka menempuh ujian sekolah. Sehingga ibu Warnadi tetap
tinggal di Asrama tentara/tangsi di atas wilayah Pasar Sapi Salatiga. Sementara
Bapak Warnadi masih senang lajo dari Tanggungharjo ke Salatiga. Baru pada tahun
1975 mereka pindah ke tanggungharjo. Dan karena Bapak Warnadi seorang yang
sangat suka berburu babi hutan, beliau seringkali pergi ke hutan dekat desa Ringinpitu.
Karena alasan inilah beliau akhirnya memutuskan untuk tinggal menetap di desa
Ringinpitu beserta istri dan anak-anaknya.
Selang beberapa tahun tinggal di
Ringinpitu, Ibu Warnadi merasa tidak mendapat cantolan sebagai orang Kristen di
daerah yang baru. Beliau meminta Bapak Warnadi agar mencari informasi
keberadaan gereja terdekat yang bisa dipakai untuk tempat beribadah. Maka
didapatlah informasi itu, yaitu di desa Kaliwenang, tempat diselenggarakannya
ibadah di tempat Bapak Joyo Siwandi yang dilayani dari induk GKJ Kaliceret.
Maka minggu kemudian beliau memutuskan berdua untuk mulai beribadah ke
Kaliwenang dengan naik sepeda.
Medan yang harus ditempuh dari Ringinpitu
ke Kaliwenangwaktu itu tidaklah mudah. Jalannya masih sempit, penuh ilalang di
kanan kiri, dengan bebatuan yang terjal. Apalagi jalan dari Ringinpitu ke
Kaliwenang naik turun penuh tanjakan. Sehingga Bapak Warnadi sering
terengah-engah memboncengkan Ibu Warnadi. Karena kondiri ini maka Ibu Warnadi
meminta agar Bapak memohon kepada Induk Kaliceret agar berkenan membuka
pelayanan sendiri untuk Keluarga Bapak Warnadi di Ringinpitu. Oleh Majelis yang
ada waktu itu maka usul tersebut disetujui. Sehingga Ringinpitu dilayani
tersendiri oleh GKJ Kaliceret dengan pelayan waktu itu Bp.Budi Utomo dan
Bp.Abil Martoatmojo.
Sejak penyelenggaraan ibadah di Ringipitu,
makin lama warga jemaat yang mengikuti ibadah semakin bertambah. Pertama-tama
ajakan Ibu Warnadi ditujukan kepada seorang guru SD Ringinpitu, namanya Bapak
Purwanto, seorang warga gereja katolik Tanggungharjo. Karena penyelenggaraan
ibadah katolik dilaksanakan pada malam hari, maka permintaan Bp/Ibu Warnadi agar Bapak Purwanto bergabung
diterima dengan senang hati. Bahkan istri beserta seluruh keluarganya di ajak
serta. Untuk itu kemudian dilayani katekisasi oleh Bp.budi Utomo (Alm) dan
B.Abil Martoatmojo (Alm). Setelah mengiktui katekisasi maka istri dan anak-anak
Bp.Purwanto dibabtis. Yaitu Susilo, Juwali...
Demikian juga mbah Sandiman, Mbah Rahwana,
Mbah Parjiman, Ibu Surip. Dengan bertambahnya warga jemaat maka Pepanthan
Ringinpitu menjadi lebih bergairah. Hanya sayang seringkali situasi semacam ini
harus diganggu oleh ulah orang Kristen sendiri yang memiliki kesalah pahaman
tentang penginjilan. Waktu itu datang dari gereja JKI semarang yang akan
mengadakan kegiatan pelatihan untuk orang-orang Kristen di Ringinpitu. Dalam
pelatihan itu juga dibagikan sembako dan keperluan rumah tangga. Karena
kegiatan ini dilakukan secara rutin, maka banyak diantara warga pepanthan
ringinpitu yang tertarik dan bergabung ke dalam kegiatan ibadah JKI. Tak lama
kemudian maka secara resmi berdirilah Gereja JKI di Ringinpitu yang nota bene
semua warganya adalah bekas jemaat Pepanthan Ringinpitu yang “diusungi” JKI.
Keadaan ini sempat menimbulkan konflik karena JKI dianggap telah mencuri
domba-domba GKJ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar