PERJUANGAN MENCARI AIR BERSIH
Kalau anda masuk kabupaten Grobogan, ada satu pertayaan yang penting dan khas:
1. Apakah jalannya masih rusak?
2. Apakah masih sulit air?
Dua pertanyaan ini sering saya dengar dari orang diluar Grobogan.Sebab memang kesan orang di luar Grobogan kebanyakan memiliki gambaran negatif mengenai Grobogan, yaitu daerah yang kering, tandus, miskin, dan sulit air.
Inilah yang saya alami ketika saya pertama kali masuk Grobogan.
Waktu itu saya dipanggil untuk berorientasi menjadi calon Pendeta GKJ Kaliceret. Setelah saya menerima surat panggilan menjadi calon Pendeta dan kemudian saya menjawabnya, maka hari itu saya berangkat menuju Kaliceret.
Saya sendiri berasal dari Ambarawa, tepatnya desa Lonjong, kelurahan Ngampin, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Waktu itu saya naik bus Konco Narimo naik dari Tuntang menuju Purwodadi. Beberapa saat saya naik bus saya masih menikmati suasana yang enak, sebab pemandangannya hijau nan menyejukkan. Namun ketika perjalanan saya memasuki desa Nyemoh, saya begitu sangat kaget. Sebab pemandangan yang saya lihat jauh dari bayangan saya selama ini. Ternyata pemandangan kanan kiri saya hanyalah hutan jati yang meranggas, tanahnya kering, gersang, panas, dan berdebu. Itulah kisah pertama perjalanan saya yang membuat sangat stress.
Kisah ini belumlah habis. Pengalaman saya yang cukup mengesankan sekaligus mengejutkan sebagai warga Grobogan yang baru adalah setelah saya tinggal di Kaliceret.
Pengalaman pertama adalah ketika saya hendak mandi waktu itu. Sore itu saya akan mandi. Saya ditempatkan di SD Kristen Kaliceret, bekas rumah Zendeling Jerman/Belanda waktu itu. Ketika saya akan mandi. saya disuruh untuk kebelakang menadah air. Sakurannya dari pipa besi peninggalan Belanda. Saya mengira air yang mengalir seperti di desa saya, seperti bayangan saya selama ini. Ternyata saya harus dengan sabar menanti air menetes tetes demi tetes sampai ember penuh. Dan jatah untuk mandi memang hanya satu ember itu saja. Satu ember harus cukup untuk mandi dengan segala keperluannya, dari sikat gigi, keramas, mandi, dan semua keperluan yang lain. Cukup tidak cukup harus cukup satu ember.
Pengalaman lain adalah ketika saya punya istri Bu Sri Resminiati. Istri saya berasal dari Jepara, suatu daerah murah air seperti saya berasal. Tetapi ketika hidup di Kaliceret kami harus beradaptasi semuanya termasuk belajar berhemat air. Mandi cukup satu emnber untuk segala keperluan.
Pernah suatu ketika, ketika musim kemarau, karena di Kaliceret sulit air, kami punya pengalaman pertama mandi rame-rame di sendang Mliwang. Mewang dipisahkan antara tempat mandi laki-laki dan perempuan. Di tempat mandi itu semua harus terbiasa mandi bersama-sama. Bagi yag lelaki dengan sempak saja. Sedang bagi perempuan hanya berbalut kain dan kemudian berbasah ria. Dari tua, muda, perawan, janda, semuanya. Ketika pertama istri saya mencoba bergabung, ternyata beliau menyerah dengan cara mereka.
Inilah foto sendang Mliwang yang sangat menolong
Setelah kami punya anak, yang terjadi berbeda. Anak-anak malah sangat senang bila diajak mandi di sendang Mliwang (pada saat musim kemarau). Memang sudut pandang orang tua dengan anak-anak memang berbeda.
Pengalaman berat mengenai mencari air puncaknya ketika saya punya anak pertama. Saat itu setiap hari saya harus mendapatkan air untuk mencuci. Padahal waktu itu musim kemarau. Menimba air di sumur desa sebelah hutan bagian atas, harus antre dengan penduduk kampung sebelah, yaitu Kapung. Itupun kalau airnya sudah ada. Maka saya teringat sekali waktu itu harus membawa pulang air keruh demi dapat mencuci popok anak saya.
Pengalaman inilah yang kemudian mendorong saya untuk mencari cara supaya bagaimana caranya saya bisa mendapatkan air dengan cukup.
Dokumentasi saat pak Pendeta mengikuti selamatan bersama masyarakat di sendang desa Kebon Agung, dekat sumur gereja
Pertama-tama saya membernaikan diri memohon kepada Modin desa Kebon Agung tempat yang memiliki banyak sumur/belik, untuk dibuatkan sumur. Nama modin itu Mbah Ramli. Ternyata permohonan saya ditanggapi dengan hangat. Saya dibuatkan sumur oleh Mbah Modin Ramli berserta tenaganya sekalian.
Dokumennya saya lampirkan di bawah ini.
Foto anak saya Alfreda di depan sumur di ladang
Sendang Kebon Agung dengan 10 selang
Foto Gierda dan Alfred di sendang
Pdt.Purwanto lagi di depan sumur buatan Modin Ramli dengan pakaian rakyat jelata
Alfred dan Gierda berada di depan Sumur Kebon Agung
Setelah masyarakat Kaliceret melihat keberhasilan saya mendapatkan mata air dari kebon Agung, beberapa orang mulai meniru. Di antaranya Bp.Budi Utomo. Kemudian Bapak Suparmin. Lalu Bp.Djamo Rajadepati. Dan kemudian semua orang berlomba membuat sumur-sumur mata air disekitar bukit Utara dukuh Kaliceret. Sekarang ini hampir semua penduduk memiliki sumur mata air.
Setelah saya mendapatkan beberapa sumur (ada 3 sumur), air saya alirkan melalui pipa plastik/selang dari bukit belakang desa Kebon Agung, Utara Kaliceret , kemudian air saya tampung di bak penampungan, baru dinaikkan ke atas memakai pompa air ke water toren, baru kemudian dialirkan ke bak mandi sesuai keperluan. Bantuan pembuatan bak penampungan, tower penampungan, selang dan pipa paralon berasal dari GKI Kebayoran Baru dan dari Keluarga Bp.Is Mulyono.
Inilah dokumentasi instalasi penampungan yang ada.